Pegawai negeri sipil (PNS) menjadi pilihan hidup banyak orang. Lihat setiap ada penerimaan CPNS baru, ribuan orang ikut mendaftar sementara jatah untuk masing-masing formasi berbanding jauh dengan jumlah yang mendaftar.
Meski demikian, banyak orang tak peduli, sing penting ikut dulu. Menjadi PNS seperti pekerjaan yang begitu hebat. Sampai-sampai ada yang bilang tak jadi PNS sama dengan tak kerja.
Kenapa mau jadi PNS? Konon, jadi PNS tidak mungkin bisa kaya. Kalaupun kaya maka sontak akan membuat telinga orang-orang berdiri dan curiga. Jangan-jangan, eh jangan-jangan korupsi tuh. Ada benarnya juga, karena memang banyak yang terbukti korupsi.
Kemudian, banyak orang merasa berhak untuk mengadili dan memberikan judgment pribadi atas kinerja PNS dengan alasan PNS digaji dengan uang rakyat. Tapi apakah PNS itu bukan rakyat? Semua penghasilan PNS golongan III ke atas dipotong pajak, jadi PNS juga penyumbang terbesar. Dari gajinya sendiri, benar kan?
Hanya saja, kabarnya ada rekening PNS-PNS muda yang gendut alias di luar kewajaran—jika yang tua berperut gendut, ya sudahlah hehe—menurut PPATK. Rekening siapakah itu? Selayaknya ya diungkapkan sekaligus dan dibuktikan siapa saja pemilik rekening gendut tersebut, agar tidak jadi polemik di tengah masyarakat dan menjadikan sesama PNS lain sebagai sasaran tembak opini masyarakat.
Berbicara soal gaji PNS, apakah sudah cukup atau lebih dari cukup? Instansi pengawasan terkait sewajarnya turun ke lapangan untuk ngecek kehidupan PNS-PNS, apakah sudah mencapai garis kesejahteraan? Atau, sebenarnya sudah sejahtera tapi doyan foya-foya? Ganti gadget tiap bulan atau punya gadget banyak melilit pinggang.
Terus jika PNS mengeluh bergaji kecil, muncul pertanyaan siapa suruh jadi PNS? Jumlah PNS yang seabreg, pada akhirnya hanya menambah beban bagi pemerintah. Walaupun memang pemerintah sendiri tak cerdas menyiapkan lapangan kerja lain bagi rakyat yang diperintahnya. Ujung-ujungnya, pemerintah sendiri yang menjerit teriak-teriak moratorium sana sini.
Walaupun demikian, kebijakan moratorium PNS itu merupakan langkah brilian dalam menuntaskan reformasi birokrasi di daerah. Dua persoalan mendasar dalam reformasi di tubuh pemerintahan biasanya terkait penyelewengan berbentuk KKN dan inefisiensi birokrasi. Ujung-ujungnya, pemborosan anggaran.
Masalah ini seharusnya teratasi jika reformasi birokrasi meniru negara maju dilakukan dengan menggunakan teknologi komunikasi dan informasi. Jane E Fountain (2007) dalam Bureaucratic Reform and E-Government in the United States: An Institutional Perspective menyebutkan, pada era pemerintahan Presiden Clinton, reformasi birokrasi di Amerika Serikat (AS) telah bergerak ke arah e-Government. Bahkan, AS kemudian fokus pada reformasi birokrasi berbasis e-Government. (Fountain 2001, 2006).
Seiring dengan perkembangan dunia maya, berbagai institusi pelayanan publik dipaksa mengembangkan model pelayanan secara online, terutama di bidang kesehatan, perumahan, pertanian, transportasi, dan lingkungan. Bahkan, pemilu di AS menggunakan e-KTP yang terintegrasi secara nasional. Sehingga, tak ditemukan lagi penyalahgunaan Daftar Pemilih Tetap (DPT) dalam pemilu. Jika pengembangan e-government diawasi dengan baik potensi inefisiensi, para birokrat alias civil servant alias PNS, dapat diminimalkan.
Tapi tentu saja, PNS itu juga manusia, punya kebutuhan yang sama dengan pengusaha untuk menghidupi keluarga, menyiapkan dana pendidikan dan kesehatan yang layak, menciptakan masa depan yang baik bagi anak-anaknya. Dan ya itu tadi, sedikit berfoya-foya.
Tapi (lagi-lagi), apa salah PNS berharap untuk hidup layak? Toh PNS kadang dituntut untuk mencurahkan segenap jiwa raganya demi melaksanakan pelayanan publik agar roda pemerintahan dapat berjalan.
Coba kita melihat segala sesuatu tak hanya dari satu segi, masih banyak PNS yang benar-benar berkomitmen menjalankan tugas dengan baik. Masalah terjadi penyimpangan, itu kembali ke diri masing-masing. Di tempat mana pun kalau memang dasar mental sudah rusak bisa saja terjadi kasus seperti Jayus, eh Gayus Tambunan. Di luar sana pasti ada PNS yang merasa sangat resah dan mendukung bahkan hingga seribu persen pengungkapan kasus yang melibatkan oknum PNS tidak benar. Agar tidak gara-gara nila setitik, rusak susu sebelanga.
Komentar